Anjuran membaca sejatinya bukan sekedar arahan dari para guru kepada anak didiknya. Jauh sebelum terbentuknya institusi seperti Kemendikbud atau komunitas literasi, Allah Yang Maha Esa memerintahkan manusia untuk membaca melalui manusia yang dipilihnya secara khusus menjadi nabi – Rasūlullāh shalallahu alaihi wassalam.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(Al-Alaq: 1-5)
Secara spesifik titah Allah untuk membaca tidak menunjuk buku yang mana harus dibaca. Karya Nawal El Saadawi kah atau Nizami Ganjavi? Buku karya penulis Arab kah atau penulis dari bumi Cibaduyut? Tentunya Al-Qur’an menjadi bacaan wajib bagi mereka yang merasa berislam dan beriman. Sebab Al-Qur’an ialah petunjuk Allah Yang Maha Pengasih kepada hamba-hambanya.
Dalam Tafsir al-Misbah perintah membaca dalam ayat 1 menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca, yakni karena Allah. Sedangkan, perintah membaca dalam ayat 3 menggambarkan manfaat yang diperoleh dari bacaan. Dilengkapi dengan ayat 4-5, Allah mengajar manusia melalui pena (tulisan) yang harus dibaca dan tanpa pena atau secara langsung (di dapat melalui Iḥtibāk – memahami retorika Arab atau istilah grammar dalam ilmu Al-Badi).
Oleh karenanya:
Membaca lebih dari sekedar mengetahui akhir cerita sebuah buku. Membaca bisa jadi memandang bunga yang sedang mekar cantik tanpa harus dipetik. Membaca itu memberi sebuah tisu kepada orang yang kita lihat sedang menangis. Membaca itu memberi makanan kepada mereka yang lapar. Membaca juga bisa berarti menyadari akhlak buruk di dalam diri dan berusaha untuk memperbaikinya.
Nurma Komala
Panduan:
- M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Jilid 15, halaman 392-402.
Leave a Reply