Selama #JelajahBibliotek, perpustakaan yang saya fokuskan untuk dikunjungi ialah perpustakaan milik lembaga Pemerintahan Republik Indonesia. Walaupun berstatus “Perpustakaan Khusus”, sejatinya perpustakaan milik lembaga tersebut tidaklah menutup pintu kepada kunjungan masyarakat umum. Meskipun perlu dicatat bahwa memasuki “Perpustakaan Khusus” ini punya aturan keamanan yang berbeda dibandingkan jika kita berkunjung ke jenis “Perpustakaan Umum” seperti Perpustakaan Nasional atau Perpustakaan Jakarta di Cikini.
Lewat pengalaman mampir ke perpustakaan-perpustakaan tersebut, kehadiran pustakawan bisa dibilang seolah menjadi mitos atau tereduksi menjadi seseorang yang sekedar melakukan pekerjaan administrasi.
Padahal selama ini ekspetasi saya tentang pustakawan — selain memiliki hubungan “pernikahan” dengan buku, mereka adalah mulut, tangan, dan kaki dari buku-buku yang tersimpan di dalam perpustakaan tersebut kepada kumpulan manusia yang sedang mencari makna dari literasi.
Buku-buku itu berbicara melalui kalimat yang tertulis dalam badannya. Dan buku-buku itu bertindak lewat para manusia yang telah membacanya.
Hari itu saya berkunjung ke Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di tengah diskursus #KawalPutusanMK sedang marak-maraknya. Saya celangak-celinguk ke berbagai rak buku sambil mengepal tangan yang kaku sebab suhu ruangan di dalam perpustakaan ini hampir membuat saya kena hipotermia. Saat itu seseorang “menegur” saya, cepat-cepat saya jelaskan bahwa saya bukanlah seorang penyusup, namun hanya seorang masyarakat umum yang senang berkunjung ke “Perpustakaan Khusus”. Awalnya saya tidak mengetahui bahwa orang ini adalah seorang pustakawan sampai dirinya meluangkan waktu kira-kira satu jam, berdiskusi tentang perpustakaan dan makna literasi.
Hanindyo, Koordinator Perpustakaan MK — Pak Hanin, sapaan saya kepada beliau. Pertanyaan “apakah seorang pustakawan wajib mencintai dan membaca buku?” yang saya lontarkan kepada pak Hanin membuka pintu gerbang diskusi terkait literasi.
Kepada saya beliau cerita bahwa pada awalnya pak Hanin awam dengan buku ataupun literasi. Suka ngobrol menjadi keterampilan beliau sampai menghantarkannya kepada profesi tour guide di museum. Sampai akhirnya beliau “diajak” masuk ke bidang perpustakaan, “kalau dulu masuk ASN itu masih mudah karena jarang yang mau”. Dari peristiwa ini beliau memaksakan diri untuk mencintai buku.
Lewat #JelajahBibliotek saya menyampaikan cerita pengalaman seputar kunjungan ke berbagai Perpustakaan Khusus. Bagaimana perpustakaan tersebut masih terbilang jarang diketahui oleh masyarakat umum.Juga masih jarangnya kegiatan oleh perpustakaan yang terbuka untuk umum. Pak Hanin menjelaskan kenapa kegiatan “Diskusi Literasi Konstitusi” diadakan setiap bulan sejak bulan September. Acara ini menjadi sebuah wadah perkenalan literasi seputar Mahkamah Konstitusi kepada masyarakat.
Pada pertemuan kedua saya dengan pak Hanin di acara “Diskusi Literasi Konstitusi” edisi ke-3, beliau mengajak saya jalan-jalan ke sebuah kegiatan yang dipandunya. Pak Hanin bercerita bagaimana pintu MK terbuka kepada masyarakat, baik dalam hal persidangan dan juga kegiatan literasi konstitusi yang tidak hanya eksis di lantai perpustakaan MK saja, namun juga di ruang-ruang MK.
Saat itu saya menghadiri sebuah “kuliah umum” yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat adat. Pak Hanin menjelaskan bagaimana kegiatan ini seringkali waktunya tidak bisa diprediksi. Pertanyaan yang diberikan kepada peserta menjadi sebuah sesi yang tidak dapat dibendung.
Kira-kira hampir 20 menit sesi diskusi dan menjawab pertanyaan kepada narasumber Bisariyadi itu membuat agenda selanjutnya kian terpelintir. Dengan waktu terbatas, pak Hanin mengarahkan semua peserta menuju lantai 5 gedung MK — di mana Museum Pusat Sejarah Konstitusi itu berada. Kesan pertama saya adalah alhamdulillah saya enggak sendirian. Sebab DPR RI juga punya Museum serupa dan saat berkunjung ke sana, saya hanya seorang diri, tanpa pemandu.
Pak Hanin berperan sebagai pemandu museum, menjelaskan konteks sejarah per zona sejarah yang ada. Entah sudah berapa ratusan kali beliau melakukan peran yang sama. Melihat aksi beliau tersebut membuat saya lumayan terheran. Sebuah pencerahan muncul dalam benak saya: jadi begini rasanya kalau perpustakaan dalam lembaga itu berjalan. Dia (perpustakaan) jadi sebuah makhluk hidup yang memiliki ruh dan jasad. Tangan dan kakinya bisa mengunjungi setiap sudut ruang sebuah lembaga. Oleh karenanya, literasi bisa saya lihat dan rasakan bukan sekedar dari banyaknya koleksi rak buku di dalam perpustakaan, namun isi dari manusia di dalam kelembagaannya.
Kurang lebih perasaan ini yang saya harapkan ketika berkunjung ke perpustakaan khususnya milik lembaga Pemerintahan Republik Indonesia. Harapan saya ketika masyarakat umum mencoba mengetuk pintu “Perpustakaan Khusus” — baik sekedar “penasaran” atau sudah memiliki bahan pustaka yang dicari, mereka setidaknya tidak merasa seperti seorang penyusup. Sekiranya diksi ini saya gunakan sebab itu mewakili perasaan saya saat berkunjung di beberapa “Perpustakaan Khusus”.
Eksklusivitas seharusnya tidak menjadi nuansa yang terpancar. Meskipun sekali lagi, saya dapat memahami konteks akses keamanan saat memasuki “Perpustakaan Khusus” yang membuat pengunjung jadi enggan berkunjung kedua kalinya. Barangkali para aparat keamanan di garda depan juga jarang mendengar alasan “tamu” yakni untuk berkunjung ke perpustakaan. Menjadi alasan yang aneh dan akhirnya mereka (aparat kemanan atau satpam) menolak pengunjung untuk masuk. Seperti waktu saya ingin berkunjung ke perpustakaan DPR RI.
Lewat pak Hanin, saya hanya berharap bisa melihat para pustakawan lain yang dapat memancarkan “tubuh” literasi. Mereka yang membuat perpustakaan menjadi rumah tentang masa depan dan optimisme.
Leave a Reply