Terhitung sejak bulan Presiden Jokowi dilantik kedua kalinya, hingga bulan di mana hasil pesta demokrasi secara resmi mengumumkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Seperdelapan dari rentang waktu itu aku gunakan untuk memikirkan dia yang bernama masa lalu. Masa lalu itu tertulis “HINA” dalam jurnal milikku. Ukuran hurufnya aku tulis hingga memenuhi setengah kertas dengan garis lingkar di sekelilingnya. Diriku menulisnya, “Hari ini aku merasa seseorang sengaja buang hajat di atas kepalaku. Setelahnya, orang itu memaksa diriku untuk menelan tahinya.”
Di hari itu dendam menjadi nama tengah yang tidak tercatat dalam akta kelahiran. Nama adalah doa, katanya. Dendam membuat diriku melafalkan sebuah doa, yakni berdiri di hadapannya dan menagih penjelasan sebelum akhirnya aku merampas jiwanya ke alam baka. Doa itu aku lantunkan begitu sering hingga aku lupa bahwa momen itu bisa terjadi kapan pun. Seperti pada suatu pagi di mana aku kira kedamaian telah membukakan pintunya lebar-lebar.
Di sanalah dia masuk lewat pintu yang sama dengan diriku. Akhirnya aku dan masa lalu itu bertemu lagi. Di tempat di mana dulu dirinya dan diriku pernah meleburkan tawa serta ambisi bernama jurnalistik. Seharusnya aku lebih peka. Tentu dia akan datang ke tempat dan acara ini. Jiwa jurnalis itu akan pergi ke sarangnya para jurnalisme di Ibu Kota.
Seketika badanku kaku sekakmat. Suhu udara tiba-tiba minus sekian derajat. Jika ini rasanya benua Antartika, maka aku tidak perlu repot membuang ongkos dan tenaga untuk pergi langsung ke sana. Bibirku sengaja lugas meminta maaf kepada seorang asing yang sedang aku ajak bicara. Aku berusaha keras untuk mengingat caranya bernafas atau mengingat apakah aku selama ini tunarungu. Sebab setiap suara yang dilontarkan dalam ruangan ini mendadak hilang semrawut.
Caranya memasuki ruangan tidak ada bedanya dengan masa itu. Dirinya akan menghindari tatapan para orang asing. Buru-buru aku menunduk dan memastikan kepalaku tidak menengok ke baris belakang. Seketika aku lupa motivasi datang ke acara ini. Entah apa yang dikatakan narasumber itu tentang caranya melakukan resensi buku. Otakku telah buyar seraya air dan minyak yang diaduk. Namun satu hal yang jernih ialah pikiran apakah aku akan menyapanya terlebih dahulu. Atau mungkin langsung membuat anak orang terkapar di atas lantai.
***
Aku berhasil melangkah keluar dari ruangan tanpa harus melihat batang hidungnya lagi. Anehnya untuk sesaat aku kira dirinya sudah lenyap berlari seperti saat di masa lalu ketika dirinya meninggalkanku tanpa penjelasan. Hingga tiba-tiba seseorang memanggilku.
Sialan. Bajingan. Sialan.
Tangan itu menjalar dari siku menuju telapak tanganku. Menggenggam erat dan aku balas lebih erat dua kali lipatnya. Dirinya membalas lagi tiga kali lipat eratnya. Adegan itu dilakukan sembari aku dan dirinya berjalan menuju lift. 5 meter jaraknya dari pintu masuk acara tadi. Namanya kusebut lagi melewati bibirku yang pernah tertawa sebab humornya. Dan yang juga pernah mengkerut menahan tangis sebab penghinaannya.
“Waduh, Mika, hampir 5 tahun baru ketemu lagi,” ucapku menahan tawa bernada tragis dalam lubuk kalbu sebab 1 tahun dari rentang waktu tersebut sejatinya dirinya dan diriku berada di ruang yang sama. Hanya berpura-pura seperti orang tidak saling kenal. Dia menjawab dengan sapaan “kak” sebab diriku setingkat lebih tinggi di masa tahun perkuliahan.
Diriku bersyukur ada seorang asing yang amat cerewet. Dirinya tanpa pikir panjang berkomunikasi dengan setiap orang yang saat ini hening menunggu lift yang tak kunjung terbuka. “Masnya, tadi yang bertanya soal resensi buku filsafat itu, bukan?” tanya orang asing itu menunjuk Mika.
“Oh, bukan,” Jawab Mika dengan cepat. Pintu lift terbuka. Sebetulnya tidak lebih dari 1 menit, namun aku seperti baru saja diberi tahu rasanya neraka.
Aku mengamati Mika dari rambut, pucuk bibir, hingga sepatunya. Potongan rambutnya yang masih sama dengan poni menyamping di bagian kanan. Dia kini tidak lagi memakai celana jin ketat di tengah perutnya yang buncit bak janin berusia 3 bulan.
“Ngopi-ngopi dululah, kak,” ucapnya di kala aku harus mengajak berbicara salah satu orang asing itu. Sebelum kehadiran Mika, orang asing itu memiliki nama. Tapi, saat ini namanya yang berputar mengitari kepalaku. Dendam itu harus segera dituntaskan.
Tiga orang asing mengikuti kami untuk mencari makan siang. Mika menuntun jalan memberikan alternatif tempat makan siang yang sialnya berujung kepada jalan sesat. “Pertanyaannya, kenapa kita harus memberikan beban kepada mas Mika? Kenapa kita tidak bersama-sama mencari lokasi makanan terdekat?” ucapku. Tiga orang asing itu tertawa tanpa mengerti kalimat tadi adalah sarkas.
Mika kembali lagi berjalan memimpin sambil menjelaskan bahwa rumah makan yang dituju berjarak 8 menit via jalan kaki. Dua orang asing itu berjalan samping-sampingan dengan Mika sambil berdiskusi. Obrolan politik khas anak muda yang sebetulnya cukup menguras energi di tengah lapar yang sedang mengigit organ pencernaan. Diriku di belakang mereka dengan salah satu orang asing yang berjenis kelamin perempuan. Dua orang asing itu sesekali akan berhenti menengok ke belakang untuk mengajukan komplain.
Diriku menyalip ke depan, berdiri kokoh di samping Mika. Memaksa dua orang asing itu pindah ke baris belakang. Aku memulai ruang diskusi yang memiliki keterhubungan dengan masa lalu diriku dan Mika. Organisasi jurnalis yang dulu kami bina dan jaya itu telah mati. Domain websitenya bahkan sudah terganti dengan situs porno sebab saking lamanya tidak diurus.
“Itu salahku juga, sebab mengabaikan pengurus setelahnya,” kata Mika. Apakah dirinya tahu beberapa pengurusnya komplain kepadaku saat dirinya menggantikan kursi jabatanku? Dia sangat dingin dan tidak sabar untuk melakukan transfer ilmu, katanya. Aku bersumpah serapah dalam hati kegirangan. Diriku mengingat Mika yang dulu suka memandangku di bawahnya. Dirinya yang juga pernah memandangku di atasnya dengan mata yang berbinar. Apa yang membuatnya berubah secepat bunga melati yang kuncup menjelang sore hari?
Orang asing itu kegirangan setibanya kami tiba di rumah makan yang di maksud. Betisku mengomel lebih dari perutku. Mika memilih kursi dalam ruangan ber-AC. Seharusnya aku duduk persis di samping Mika sampai kakiku dengan kakinya mungkin bisa bergaduh secara tidak sadar. Namun salah satu orang asing berdiri untuk mengganti posisi duduknya. Pada akhirnya aku duduk bukan disamping atau persis menghadapnya.
Aku memesan soto daging, air mineral, dan tiga mangkuk es teler yang aku niatkan masuk ke dalam tagihan makananku. Tak lama aku bangkit mencari tempat di mana aku harus mengadu kepada Dia yang telah mewujudkan permintaan aku di hari ini. Tuhan, apa maksudnya ini? Aku sudah melepasnya, aku biarkan hinaan itu sebagai apa yang sudah berlalu demi menikmati diriku di masa kini. Kenapa perasaan benci itu harus meluap bersamaan dengan gairah yang dulu pernah aku hantarkan kepadanya? Apa ini yang mereka bilang bahwa wanita terkutuk untuk mudah memaafkan? Dia bahkan belum meminta maaf, Tuhan.
Meja sudah penuh dengan tiga jenis makanan, kecuali makanan Mika dan satu orang asing itu. Berselang sekian detik tiga porsi es teler yang dipesan datang dan pelayan yang berbeda membawa dua porsi makanan yang tersisa. Sejujurnya es teler lebih membangkitkan nafsu. Namun ada seseorang yang menunggu respon rasa makanan yang direkomendasikannya ini.
Sebelum pertanyaan itu terlontar dari bibir Mika, lewat sudut mata aku bisa melihatnya mengawasi dengan seksama saat kuah daging itu terkunyah di dalam mulutku. “Bagaimana sotonya, enak, kak?” Benar saja. Aku menoleh ke arah jarum jam 11 sambil menatapnya dengan totalitas. Dia memang sedang memandangku sambil memegang sendok penuh dengan nasi.
Aku menjawabnya dengan mengangguk dan tersenyum. Mengangguk sebab mulutku penuh dengan makanan dan tersenyum sebab tebakanku benar. Dia menunggu responku sebelum menyambut suapan makanannya.
“Kak Fariza jadi vegan waktu itu ya?” Mika bertanya. Aku hampir tersedak daging soto yang dipotong besar-besar itu.
“Cuma selama setahun dan setelahnya aku tidak lagi punya waktu untuk melakukan pilihan moral itu,” Dia diberi tahu atau seseorang memberi tahu? Orang-orang asing ini mulai menyambut pertanyaan itu menjadi sebuah obrolan moral.
“Pada akhirnya manusia punya will-power untuk memberi strata moral kepada binatang. Kenapa kita menyukai anjing atau kucing dan menghardik mereka yang menyiksa atau memakannya, tapi tidak saat kita membunuh jutaan ayam dan sapi?” ucapku.
“Jadi vegan itu absurd. Makanan adalah karunia terbesar Tuhan. Apalagi bagi seseorang yang dulunya punya masalah asam lambung,” Mika bercerita panjang lebar mengenai masa kelamnya. Bagaimana asam lambung membuat dadanya serasa terbakar.
“Asam lambung lebih kompleks dari urusan lambung saja. Suatu hari aku harus melakukan pemeriksaan elektrokardiogram karena sesak nafas yang membuat leherku serasa digantung dari Monas. Dokter bilang bahwa jantungku sangat bagus. Lalu, sambil berbisik dia menyarankan aku pergi ke psikolog,” ucapku membuka gerbang masa laluku sedikit demi sedikit.
“Psikosomatis,” tambah Mika yang terlihat menyambung pernyataanku bagai air yang mengalir. Asumsiku dia pun mungkin sudah pernah ke psikolog.
“Vegan membunuh lebih banyak tumbuhan daripada mereka yang memakan daging,” bantah orang asing itu.
“Aku menyadari argumen itu. Tapi, yang harus ditekankan adalah bagaimana saat ini kita dilarang untuk menerima hal secara taken-for-granted. Bumi ini sudah tidak lagi muda. Pastikan kamu tahu kenapa kamu memilih untuk melakukan A, B, dan sebagainya,” jelasku.
“Betul. Contohnya pakaian, apa yang dianggap kece dan bermerek itu ternyata mengeksploitasi manusia. Aku lebih sering memakai baju bekas daripada membeli baru,” Mika kembali membawa diskusi ini semakin lebar. Dirinya dan diriku serasa seperti orang tua yang sedang memberi ceramah kepada tiga orang bocah tentang isu berkelanjutan kepada bumi ini.
***
Ketika kami memutuskan untuk menyudahi makan siang, Mika menjadi orang pertama yang turun ke lantai bawah. Aku mengikutinya dengan cepat sedangkan tiga orang asing itu menanggapi situasi ini lebih santai. Saat aku meminta tagihan ibu kasir mengatakan bahwa semua tagihan sudah dibayar.
“Jangan, Mika,” ucapku tegas. Aku membenci pikiran dan argumen yang akan nampak sangat bodoh. Tapi, aku tidak ingin terjebak di situasi di mana aku memaksanya untuk memberikan nomor rekeningnya. Suara ibuku tiba-tiba ada dalam benakku, Aku tahu kamu bisa melakukannya, tapi ada waktu di mana kamu harus membiarkannya. Itu kodrat laki-laki. Sialan. Menutup telinga tidak menjadi solusi apabila otak yang berisik.
Orang asing itu berterima kasih kepada Mika. Mereka saling bertukar akun Instagram, sedangkan aku masih terdiam kaku bingung harus berkata apa. Terima kasih mungkin terdengar sangat lumrah. Jadi, aku meminta nomor teleponnya. Itu pertama kalinya aku memiliki nomor dia dalam kontakku. Aku mengetik namaku agar dirinya pun tahu bahwa itu adalah nomorku.
“Bagaimana jika bertemu lagi. Aku yang akan traktir,” ucapku. Dia mengangguk menyatakan kesetujuan.
Mika secara tiba-tiba berkata bahwa dirinya harus segera menemui seseorang. Sedangkan ketiga orang asing itu berencana untuk kembali melanjutkan jadwal acara kedua di tempat yang tadi. Seperkian detik mataku hanya menatap setiap pasang bola mata yang terbuka menganga. Bukannya aku tidak memiliki arah mau ke mana, hanya saja aku tidak menyangka bahwa Mika ternyata harus pergi. Bahwa dia merasa tidak ada yang harus diselesaikan.
Seperdelapan dari 53 bulan adalah 6 bulan, 6 bulan itu sama dengan 182 hari, 182 hari terdiri atas 4.368 jam. Waktu sebanyak itu aku gunakan untuk memikirkan Mika. Dirinya tidak menganggap hal itu esensial.
Saat ini setan bernama dendam ingin segera mendorongku ke alam neraka. Namun bukankah terlalu gila untuk membunuh seseorang di tengah banyak orang yang sedang makan siang?
“Aku akan langsung ke halte terdekat saja, ke arah sini bukan?” ucapku sambil melangkahkan kaki secara ragu. Bersamaan dengan langkahku, salah seorang asing bertanya kepada Mika terkait transportasi yang akan dia gunakan. Mika menjawab dia akan memesan gojek online.
Sekali lagi aku menyapa ketiga orang asing itu untuk berpamitan. Hanya saja ternyata Mika membuntutiku sambil mengatakan bahwa jarak halte tidaklah jauh.
“Di mana kamu memesan gojek online?” tanyaku yang sudah pasrah dengan keadaan.
“Aku akan naik kereta saja. Kak Fariza tinggal di mana?”
“Di Tanah Kusir. Mika di mana?”
“Seskoal,” sialan, selama ini aku dan Mika ternyata bernafas di satu kecamatan yang sama.
“Gojek online kamu menunggu di halte terdekat?”
“Tidak. Aku akan ke stasiun dengan Transjakarta saja,” jawab Mika. Harapan seketika muncul secepat laju kilat yang merambat sebelum petir akhirnya memekakan telinga mereka yang sedang tertidur pulas. “Aku tidak ingat kapan terakhir kali naik KRL,” ucapku.
“Kita searah, kak. Mungkin rute Transjakarta setelahnya yang berbeda,” jelas Mika. Setidaknya aku tahu kami akan berpisah di koneksi halte transit. Apakah peluang untuk menerima penjelasan itu akan tercapai sejatinya tergantung dari seberapa cepat bus datang.
Saat kami tiba di sebuah halte ruas jalan hanya ada aku, Mika, dan seekor kucing berwarna hitam yang sedang tertidur. Kendaraan yang lewat bisa dihitung jari sebab hari ini orang-orang libur bekerja.
“Aku banyak kehilangan orang terdekatku di tahun ini,” kalimat itu membuat aku seperti dilempar ke laut. “Di awal tahun seorang kawan dan tiga minggu yang lalu ayahku,” aku menahan nafas sambil melihat Mika yang sedang menatap jalanan dengan tatapan kosong. “Are you okay?” tanyaku sambil mengucap salam duka cita kepada Mika.
“Ya, I’m okay. Kematian itu sudah waktunya. Aku tetap merasa kehilangan, tapi juga mengikhlaskan yang telah tenang di alam sana. Tapi, itu membuatku banyak berpikir tentang orang-orang yang aku sakiti,” aku masih menahan nafasku karena ada kemungkinan besar dia mengatakan kalimat yang selama ini ingin aku dengar.
“Sebetulnya aku sudah lama ingin bertemu kak Fariza. Dua bulan yang lalu aku bermain ke rumah kak Ibnu sambil menanyakan kabar kak fariza,” kata Mika. Kak Ibnu adalah CEO di organisasi jurnalistik yang kami pegang. Dia yang menunjukku sebagai Pemimpin Redaksi. Aku tidak memiliki masalah dengan kak Ibnu, hanya saja Mika selalu melihatku seolah aku tidak berada di tempat yang sepantasnya.
“Aku merasa bahwa hubungan kita dahulu sangat canggung dan aku condong menjauh. Aku sangat brengsek waktu itu,” Oh itu ucapan yang aku ingin lempar ke wajahnya.
“Aku punya prinsip aneh terkait pertemanan dan menganggap orang yang tidak memiliki kapasitas intelektual memadai ialah orang yang pantas aku anggap rendah. Jadi, aku memilih untuk tidak berteman dengan mereka. Oleh karena itu, aku memohon maaf atas apa yang terjadi di masa lalu antara aku dan kak Fariza,” aku terdiam cukup lama dan gerbang masa lalu itu saat ini sedang terbuka lagi lebar-lebar. Aku bersiap untuk membalasnya dengan hujatan, atau meludah padanya.
Tentu kamu sangat brengsek. Persetan kalau kamu mau menganggapku orang asing. Tapi, saat itu ada organisasi yang harus kita bina secara profesional. Kamu berdiri diam di sana ketika aku meminta bantuan terkait aktivitas organisasi, tapi suaraku ini mungkin kamu anggap hantu. Aku tidak tahu apakah kamu mengingat spesifik kejadian yang kamu maksud dalam kategori ”brengsek”. Saat itu kita saling berhadapan di kursi meja perpustakaan, aku menanyakan buah tangan dari Yogyakarta. Seraya nada bercanda berharap itu menjadi sebuah obat dalam jalinan komunikasi kita. Kamu menjawab “tidak bawa oleh-oleh, aku hanya membeli untuk keluarga”. Namun setelahnya kamu berikan satu tas penuh buah tangan kepada kak Ibnu, bahkan tasnya saja bergambar Tugu Pal Putih. Bagian yang paling mengherankan adalah kenapa kamu harus memberikan tas oleh-oleh itu tepat di wajahku? Kenapa kamu tidak pergi saja keluar. Persetan apabila aku bukan bagian dari keluargamu. Mungkin jiwa feodal-ku meronta ingin diberikan oleh-oleh atau mungkin sedikit bagian jiwaku mendefinisikan bahwa buah tangan dari Yogyakarta itu adalah aksi bahwa kamu juga memikirkan aku. Saat itu juga aku sigap ke kamar mandi.
Menahan tangis di saat kamu lagi membutuhkannya untuk keluar sebetulnya membuat seluruh tubuhmu sakit. Aku bernafas megap-megap sambil mengamati suaranya yang terdengar seperti angin ribut. Lalu, aku mencubit pahaku untuk memberikan sinyal kepada otakku bahwa cubitan itu harus lebih sakit ketimbang apa yang barusan aku lihat tadi. Entah apakah kamu sengaja melakukannya, tapi malam itu aku berkewajiban untuk memberikan sebuah presentasi kepada mahasiswa yang baru bergabung. Jadi, kamu sungguh tidak berperikemanusiaan, Mika. Kamu sengaja mengacaukan fokusku untuk…mempermalukan diriku di depan khalayak banyak.
Aku menelan ludah sebab tenggorokanku saat ini sekering jalanan Jakarta di puncak musim kemarau. Kata-kata luapan masa lalu itu berhasil aku bendung sebab diriku tidak mau terdengar seperti seorang yang kehilangan akal sehatnya. Aku…tingkatan intelektual diriku tidak memadai?
“Aku tidak menduga kamu menyadari apa yang kamu lakukan saat itu. Sejujurnya itu membuatku bingung, sebab di waktu bersamaan kita pernah dekat. Aku pun ingin sekali bertemu denganmu. Tapi, kita tidak pernah bertukar kontak satu sama lain,” ucapku. Kenapa aku tidak pukul saja kepalanya saat ini? Kucing tidak bisa jadi alibi di kantor kepolisian.
“Kak Fariza meng-unfollow Instagramku,” ucap Mika menyalip kalimatku. Aku sedikit terkekeh. “Kamu menyadarinya?”
“Tentu. Aku pergi ke profil Instagram kak Fariza dan melihat aku tidak lagi berada di kolom orang-orang yang diikuti atau mengikuti,” jawabnya dengan detail. Aku menekan tombol blokir dan kemudian membuka tombol itu kembali dalam waktu bersamaan. Ketika kamu melakukan itu, kedua orang tidak lagi saling mengikuti.
Bus datang di waktu yang aku kira tepat. Sebab aku sangat membutuhkan distraksi agar tidak menangis.
***
Aku dan dirinya berdiri terhimpit di tengah kerumunan masa. Mika menyandarkan bahunya pada pintu kereta dan aku berpegangan pada tas jinjing yang diselipkan pada bahu kirinya. Tanpa berbicara aku hanya mendengarkan nafas Mika yang kian makin terdengar. Bukan sebab suaranya yang semakin besar, tapi karena jarak Mika dan diriku yang hanya sejengkal tangan.
Dalam bayang imajinasi aku ingin memeluknya di tengah jalan perpisahan kami. Namun aku menarik diri sebab aku tidak mau merasakan pelukan itu sebagai suatu perpisahan. Ada sebuah darah optimisme yang aku tanam bahwa setelahnya kami akan baik-baik saja.
Aku menunggu pesan dari Mika malam setelahnya.
Menunggu pesan darinya satu minggu setelahnya.
Satu bulan setelahnya.
Empat bulan kemudian.
Kolom pesan itu aku ratapi. Menyadari hanya ada pesan dariku tertulis “Fariza”.
Diriku pengecut untuk tidak menggunakan nomor itu sebagai akses komunikasi kepadanya. Namun saat ini aku ada di masa di mana aku merasa seperti orang yang telah gagal dalam hidup. Kegagalan itu membuat aku merasa seperti orang yang kekurangan intelektual. Orang yang tidak memiliki kapasitas intelektual memadai ialah orang yang pantas aku anggap rendah. Jadi, aku memilih untuk tidak berteman dengan mereka, ucapan Mika di halte melewati benak. Setiap lekukan hurufnya menyayat saraf kesadaranku. Aku ada di bawahnya. Mungkin aku hanya ayam potong baginya. Entitas yang tidak memiliki kuasa selain menunggu waktu jagal.
Setiap kalimat di halte pada hari itu aku terus ulang. Diriku tersadar bahwa sejatinya mulutku belum menyetujui permintaan maafnya. Tentang permintaan maaf, Nietzsche pernah menulis dalam karyanya Human, All too Human, jauh lebih menyenangkan untuk melukai dan kemudian memohon pengampunan daripada disakiti dan memberikan pengampunan. Meminta maaf bagi orang yang menyakiti akan memberikan bukti kekuasaan dan kebaikan karakter. Namun bagi yang tersakiti dirinya akan dianggap tidak manusiawi apabila menolak untuk mengabulkan permohonan maaf itu.
Aku rela menerima predikat tidak manusiawi jika aku bertemu dengan Mika sekali lagi. Aku akan melabraknya dengan segala hal yang membuatku menjadi tidak manusiawi, menjadi bukan lagi manusia.
—
- Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Cerpen Tingkat Internasional Piala H.B. Jassin 2024, dan saya memutuskan untuk membagikannya kepada pembaca secara lebih luas.
Leave a Reply