Satu hal yang “unik” dari rasa malas adalah bagaimana kita enggak pernah merasa lebih bahagia setelahnya. Justru perasaan bersalah, sedih, menyalahkan diri sendiri ataupun Tuhan yang dominan dari tindakan malas kita ini.
Rasa malas sering menyebabkan daftar pekerjaan kita tertunda (prokrastinasi), atau jadi tidak maksimal. Misalnya, tugas sekolah yang sebetulnya punya jangka pengerjaan selama 1 bulan akan amburadul ketika dikerjakan 12 jam sebelum waktu tenggatnya. Contoh lainnya, ibadah salat. Al-Qur’an punya aturan spesifik kepada mereka yang lalai.
“Celakalah orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari mengerjakan shalatnya.” (QS. Al-Ma’un :4-5).
Dalam hadits, perumpamaan ibadah salat yang ditunda atau semakin jauh dengan waktu Adzan berefek pada "pahala" : "Shalat di awal waktu akan mendapat keridhaan dari Allah. Shalat di tengah waktu mendapat rahmat dari Allah. Dan shalat di akhir waktu akan mendapatkan maaf dari Allah." (HR. Ad-Daruquthuni).
Menunda-nunda secara biologis…
Semua kembali lagi ke otak. Singkatnya begini kawan-kawan.
Otak kita punya 2 bagian yang saling berlawanan: simtem limbik dan prefrontal korteks.
Sistem limbik memiliki peran respon yang “otomatis”. Sistem limbik ini diperlukan oleh tubuh kita pada aktivitas yang memerlukan respon cepat di waktu yang tidak menyenangkan. Misalnya, saat kita menginjak paku atau tersundut rokok.
Sebaliknya, prefrontal korteks memiliki cara kerja yang lebih “lambat”. Di bagian otak ini tempatnya kita untuk merencanakan suatu hal yang kompleks.
Kalau dalam studi evolusi otak manusia, si sistem limbik ini yang umurnya paling tua. Orang purba, bermalas-malasan karena faktor menyimpan cadangan makanan. Tahu sendiri bagaimana mereka dahulu harus serba berjuang untuk mendapatkan makanan. Sedangkan, prefrontal korteks ini baru terbentuk setelahnya. Oleh karenanya, manusia sebetulnya di dominasi sama sistem limbik ini. Dalam konteks menunda-nunda, sistem limbik akan lebih sering memenangkan “pertarungan”.
Cara mengatasinya…
Melatih si prefrontal korteks.
Penjelasan artikel ini sangat berkaitan dengan tulisan saya sebelumnya tentang “Teknik Podomoro“.
Prefrontal korteks otak kita ini dapat dilatih dengan porsi yang kecil-kecil tapi konsisten, ruang belajar yang nyaman, dan penghargaan setelah menyelesaikan pekerjaan tersebut. Makanya, dalam metode Podomoro ada yang namanya sesi istirahat.
Balik lagi soal evolusi otak manusia, kawan-kawan harus melihat bahwasannya melatih si prefrontal korteks adalah bagian dari perubahan kehidupan manusia.
Kesimpulan
Ketika saya berusaha memahami masalah prokrastinasi dengan pendekatan biologis seperti ini, saya sadar bahwa kita, manusia diciptakan dengan berbagai hal yang sebetulnya saling berlawanan.
Ada sebuah perkataan: Manusia itu terkutuk karena punya kemampuan yang saling berlawanan. Halnya kita diberikan kapasitas untuk melakukan kejahatan dan kebaikan. Sering kali berbuat jahat itu lebih mudah daripada berbuat kebaikan. Sebaliknya, melakukan kebaikan lebih menantang.
Kalau mau menjawab argumen ini lewat stigmatisasi “ajaran” agama, mungkin kita melihat proses itu sebagai bagian dari godaan setan. Tapi, kalau kita mau melihatnya sebagai fenomena biologis otak manusia, sekiranya kebaikan halnya pekerjaan dalam konteks lebih general, itu lebih sulit namun mempunyai nilai penghargaan yang lebih tinggi. Enggak cuma penghargaan dalam bentuk material, sensasi jiwa lebih tenang dan damai pun menjadi penghargaan “tertinggi”.
Artikel lain yang dapat dibaca:
Leave a Reply