Seandainya saya lahir di keluarga yang menjejali aktivitas membaca sejak dalam kandungan atau lahir dalam keluarga melek literasi. Mungkin membaca buku menjadi aktivitas alami alias tidak harus dipaksakan.
Saya baru benar-benar “mengenal” membaca ketika saya menginjak bangku perkuliahan. Didorong sebab ketakutan saya terhadap dosen yang menaruh fokus total kepada saya (konteks: mahasiswa “satu-satunya” di angkatan tahun 2017).
Proses itu sulit di terjang. Antara bingung harus memulai dari mana sampai mendapat tatapan rendah yang datang dari kolega sejawat — ibarat rute maraton, mereka sudah di jarak 5 atau 20 kilometer. Saya, baru menempuh jarak 100 meter, itupun dengan nafas engap-engapan.
Dalam proses pencarian makna membaca, ada sebuah konten yang membuat saya akhirnya bisa “fokus membaca”.
Video pembelajaran ini tidak hanya mengubah paradigma saya terhadap kegiatan membaca buku, tapi juga mendorong saya melangkahkan kaki untuk benar-benar memulai membaca buku.
Membaca itu sebuah skill.
Skill bermakna keterampilan yang dimiliki seseorang dari sebuah proses berlatih.
Namanya proses…ada keterlibatan usaha, waktu, serta trial and error.
Langkah pertama ialah menutup gerbang “konten”. Persetan dengan target 200 buku dalam satu tahun atau daftar 100 buku rekomendasi yang harus dibaca sebelum saya mati. Target itu enggak realistis untuk pembaca pemula!
Memikirkan betapa banyaknya buku yang belum pernah saya baca justru membuat saya malas membaca. Pada akhirnya saya harus berfokus kepada persoalan keterampilan membaca.
Teknik Podomoro Alias Si Tomat
Sebelum berkenalan dengan teknik Podomoro, tiga aturan penting yang harus disadari:
1. Secara sainstifik, otak kita membenci aktivitas yang sulit
Membaca bagi pemula bisa jadi sebuah siksaan. Memahami sifat manusia yang tertanam ini membantu saya untuk fokus pada solusi ketimbang mengeluh mengapa kita seperti itu.
Sebuah artikel pendukung yang bisa dibaca: “The brain loves a challenge. Here’s why“.
2. Membuat “Challenge” Membaca: 21 hari atau 66 hari
Ada yang mengingat pengalaman puasa di bulan Ramadhan untuk yang pertama kalinya? Dari puasa setengah hari ala bocah sampai puasanya “orang dewasa” yang harus lanjut puasa walaupun sahur terlewat.
Membiasakan untuk biasa, kurang lebihnya begitu. Dari yang terpaksa untuk puasa sampai melihatnya sebagai sebuah kewajiban.
Dalam konteks membaca dan bagaimana agar kegiatan itu menjadi sebuah bagian melekat dari diri kita. Lakukan itu selama 21 hari atau 66 hari selama berturut-turut.
Sebuah artikel pendukung yang bisa dibaca: “This Is How Long It Really Takes To Form A Habit (Hint: It’s Not 21 Days)“
3. Sebuah nasihat apabila ingin menyerah
Barangkali kawan-kawan sudah melewati hari yang ke-5, ke-15, atau ke-18. Resep yang mendasari ialah kembali lagi kepada aspek ke satu dan dua yang sudah saya sebutkan. Dari proses yang saya alami dari membaca ialah belajar tidak menyerah bisa berarti bahwa saya menghargai jalan proses.
“How we value effort is determined by what we experience in everyday life. We have this whole learning history.”
“Cara kita menghargai usaha di tentukan oleh apa yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Kami memiliki seluruh sejarah pembelajaran ini.”
– Veronica Job.
Apa itu Teknik Podomoro?
Podomoro itu dalam bahasa Italia artinya itu “tomat” — maklum penggagasnya, Francesco Cirillo memang orang Italia.
Prosedur standar teknik ini pada dasarnya adalah waktu 100 menit untuk “belajar”. Dalam konteks tulisan ini, saya gunakan diksi untuk “membaca”.
Kamu akan membaca selama 25 menit tanpa gangguan, terutama dengan notifikasi telepon. Gunakan mode “Do not disturb” jika membaca buku dari sesuatu yang “online”.
Selanjutnya, kamu dipersilahkan istirahat selama 5 menit dalam setiap 25 menit sesi membaca. Catat ya: DILARANG menggunakan waktu istirahat 5 menit untuk menjelajahi Instagram, TikTok, dan TWITTER.
Kamu bisa melakukan aktivitas seperti membuat coretan abstrak, berbicara dengan hewan peliharaan, tidur di lantai, melakukan 25 push-up, atau sekedar main air di kamar mandi.
Berikut ini ilustrasi untuk membantu Anda memahami tekniknya:
Tapi…
Saya menyadari waktu 100 menit untuk pembaca pemula bisa jadi membosankan. Oleh karenanya, saya menggunakan teknik Podomoro ini lebih fleksibel, yakni membuat aturan menjadi 30 menit. 4 kali sesi membaca setiap 5 menit dan 3 kali sesi istirahat selama 2.5 menit. Ilustrasinya masih sama seperti gambar di atas hanya diganti waktu sesi membaca dan istirahatnya.
Dalam prosesnya, aturan ini saya terus ganti apabila merasa otak saya telah mampu melewati fase kritikal. Maksudnya fase kritikal ini ialah ketika saya sudah melewati aturan 21 hari atau 66 hari. Kuncinya melakukan proses ini setiap hari tanpa bolong-bolong.
Kesimpulan
Pada intinya, teknik Podomoro ini sangat sederhana. Tapi, jika melewati 3 aturan yang saya sebut di atas, bisa jadi proses membaca akan kandas di tengah jalan.
Sampai saat ini saya masih belajar membaca buku. Membaca sebagai keterampilan yang baru saya pelajari di usia dewasa ini harus terus menerus di asah.
Membaca merupakan jalan untuk mengenal dunia yang nantinya juga akan membantu kita mengenal diri sendiri. Dan saya masih belum tahu siapa dan apa sebenarnya saya. Jadi, saya masih perlu membaca buku.
Leave a Reply